Tentang Lomba Adu Pencapaian... dan Privilege.
Privilege, privilese, hak istimewa...
Apa pun kita menyebutnya, menjadi hal yang paling sering dibahas akhir-akhir ini.
Entah siapa yang memulainya hingga kata ini menjadi tren di kalangan anak muda, yang seakan berlomba "adu pencapaian" dengan rekan sebaya.
Ajang alumni menjadi satu dari sekian banyak event atau momen yang menyeramkan bagi mereka yang "lebih lambat larinya" dalam lomba adu pencapaian, atau malah mungkin jadi tempat refreshing bagi mereka yang lebih cepat di lomba itu.
"Kerja di mana..."
"Gaji berapa... "
"Punya aset apa saja..."
"Rencana menikah di gedung A dengan mahar ratusan juta..." dan masih banyak lagi tema lombanya.
Yang kalah seringkali bersembunyi dalam kalimat, "Ah, mereka mah enak. Punya privilege. Orang tuanya kan pejabat XYZ, koneksinya banyak, bisa biayain sampe pendidikan S3, S4, S5. Lha, gue?
Belum kerja, masih jadi beban keluarga yang tiap pagi kudu makan nasi uduk lauk sindiran emak: kapan kerja? Temen emak udah bisa punya apartemen 10 gedung, bla bla bla..."
Keluhannya nggak salah, relate sekali malah. Tapi yang punya privilege gak mau kalah.
"Gue juga punya masalah sendiri! Belum pernah kan lo di meja makan bahas konferensi segi enam? Lo cuma bisa bengong karena gak dilibatkan gara-gara dianggap kurang berbakat?"
Well, di mana pun posisi kita berada dalam lomba adu pencapaian itu. Kita pasti merasa orang lain lebih bahagia atau lebih beruntung.
"Enak banget ya dia, bisa santai larinya, menikmati perjalanan prosesnya. Masa mudanya pasti asyik banget. Sementara gue harus ngebut fokus ke depan, gak bisa tengok kanan kiri. Gue juga pengen santai, tapi gak bisa..." kata Mawar sambil minum kopi harga puluhan ribu, karena kurang tidur selama seminggu untuk menamatkan buku referensi yang setebal batu bata, demi berhenti dibandingkan dengan kakaknya di meja makan.
"Beruntungnya dia, bisa santai ngopi jam segini. Gue masih harus pindah dari satu rumah produksi ke rumah produksi lain buat nawarin lagu gue. Susah emang mau jadi musisi kalau gak punya back-ingan dan koneksi," gumam Jasmine yang ngintip dari luar kafe, sambil minum es teh tiga ribu dan memikirkan kunci gitar yang tepat buat lirik lagu yang sudah terbayang di kepalanya.
Mawar iri dengan Jasmine yang nyeruput es sambil gendong gitar akustik. Mawar punya hobi yang sama dulu, tapi kandas sebelum sempat diperjuangkan karena jadi dokter dalam keluarganya sudah menjadi tradisi.
Sementara Jasmine iri dengan Mawar yang duduk ngadem di kafe dengan kopi termurahnya aja seharga tiga puluh ribuan, kalau lagi diskon. Jasmine yakin, pasti Mawar nggak pernah tahu rasanya melobi produser musik seperti yang ia lakukan demi mewujudkan impiannya.
Seandainya aja mereka tahu struggle-nya masing-masing. Apa mereka masih akan iri dengan keadaan dan pencapaian mereka saat ini? Aku ragu untuk itu.
Well... Masalahnya, praktek memang gak pernah segampang teori. Apa lagi ilustrasi seorang perempuan yang sedang kesulitan hingga harus mencari bantuan psikiatri.
Jadi, kesimpulan tulisan panjang ini apa?
Simpel. Bersyukur aja.
Iya, tahu.., nggak segampang itu emang. Aku juga masih pelajari itu setiap harinya, tapi semoga dengan tulisanku ini bisa jadi pengingat buat kita semua...
Setiap kali rasa iri atau cemburu pada pencapaian (atau privilege) seseorang muncul. Ingatlah, setiap orang punya masalahnya. Cuma mereka pandai menutupinya. Makanya yang keliatan di mata kita, cuma bagus-bagusnya aja.
Lagian, gak ada orang yang posting foto lagi kesusahan di instagram, kan?
Cinderella aja pergi tepat tengah malam biar gak keliatan wujud aslinya depan pangeran, apalagi kita yang bukan Princess Disney.
Mari berhenti membandingkan proses, pencapaian, atau kesulitan masing-masing dengan menggeret istilah privilege. Kasihan dia, gak salah apa-apa, tapi disalahin mulu..
Karena setiap orang punya jatah susah yang harus dihabiskan, tapi tenang... Semua, pasti akan baik-baik saja.



Komentar
Posting Komentar