Aku punya rencana, tapi aku berpasrah pada-Nya.


“Manusia punya rencana, kemudian berusaha mati-matian. 
Tapi terkadang lupa, bahwa tanpa meminta bantuan-Nya, semua akan berantakan.”

Skripsi, sidang, wisuda. Terdengar indah dan mudah. Tapi percayalah, tidak sedikit air mata yang tumpah selama prosesnya. Khusus bagian itu, aku takkan pernah menceritakannya. Terlalu memalukan untuk dibahas, kau hanya akan tertawa hingga perutmu kram. Atau, justru merasa tertekan jika sekarang sedang nyaris face to face dengan Skripsi dan Sidang.

Dua minggu terlewati setelah aku berfoto dengan toga di kepala. Mendapat hadiah dari berbagai teman yang rela datang tanpa undangan, membuatku selalu teringat betapa manisnya momen wisuda. Tak menyadari momok apa yang semakin lama semakin membengkak, dari topi toga yang kupakai waktu itu dan gelar baru di nama panjangku.

Satu per satu teman seangkatanku, mulai memasuki dunia kerja. Instagram mulai ramai dengan kemana teman-temanku berakhir pekan, bersama rekan kerja atau orang tua yang telah mencicipi gaji pertama anaknya. Kadang, mereka membagikan pemandangan dari jendela kantor mereka saat sore menjelang. Aku menyukainya, tapi juga tidak dalam waktu bersamaan.

Kelulusan membuatku terlena kembali dengan euforianya. Aku sarjana pertama dari keluarga besarku, keturunan kakek dan nenekku rata-rata berhenti di SMA atau D3. Karena hal itu, aku besar kepala tanpa menyadarinya.


Bapakku seorang wirausaha, berulang kali menyarankan untuk melakukan kembali bisnis daring yang sempat aku geluti saat masih kuliah. Kecil-kecilan memang, tapi hasilnya lumayan untuk hang out bareng teman setiap selesai ujian semester. Bapak bilang: sebaiknya membuka lapangan pekerjaan, menghidupi orang lain, biar kecil tapi kita yang pimpin.

Sounds good and cool. Tapi didikan selama empat tahun membuatku menyadari satu hal. Aku tidak benar-benar cocok berwirausaha jika harus bertemu langsung dengan banyak orang. Rasanya, aku ingin menyalahkan INFJ-ku. Tapi tentu saja itu terdengar tidak masuk akal. Aku kuliah bukan untuk menyerah dengan kepribadian, bukan?

Saat itu, aku mulai menyusun rencana dan perkiraan berapa lama aku akan menjalani itu semua. Sebelum akhirnya karirku berubah menjadi Ibu Rumah Tangga. Tapi, hanya butuh waktu tiga bulan, untuk menyadari bahwa semuanya be-ran-ta-kan.

Aku pernah mencoba bekerja di bagian keuangan suatu perusahaan (sebelum aku diwisuda), tapi aku menyadari bahwa duniaku bukan di sana. Aku hanya butuh waktu tiga minggu dan pingsan―untuk pertama kalinya―di commuter line Jakarta. Akhirnya, aku berhenti setelah orang tua mendesakku berkali-kali.

Sepupu perempuan yang melihatku pingsan hari itu di kereta mengatakan, kalau aku tidak kuat dengan budaya kerja di divisi keuangan, makanya tubuhku memberontak dan drop di tempat yang tidak diduga. Adikku bilang aku tidak cocok di sana karena berbeda dengan keinginanku. Sementara orang tua berpendapat aku sampai pingsan karena mereka tidak merestuiku bekerja sebelum wisuda, mereka bilang, seharusnya aku ada break setelah skripsian dan sidang.

Diam-diam, tanpa bicara. Aku mengiyakan itu semua. Tapi aku tidak punya keberanian untuk mengakuinya secara lisan. Blame my INFJ for this one.

Setelah berhenti dan memulihkan kondisi kesehatan serta psikis. Aku mulai melamar berbagai pekerjaan secara asal, apa pun yang tidak berkaitan dengan uang. Atau kadang nekat melamar di keuangan lagi karena tertekan dengan pertanyaan: kapan kerja? Udah lamar di mana aja? Diperparah dengan hobi melirik instastory teman yang sudah resmi jadi pegawai perusahaan ternama di ibu kota.

Aku. Sangat. Iri.

Aku mulai merombak seluruh rencanaku. Menghapusnya. Tapi kemudian tidak punya ide lagi ingin membuat rencana apa. Aku butuh tangga darurat. Dan saat itu terjadi, pihak alumni dan biro karir kampus mempertemukanku dengan seorang HRD dari perusahaan KJPP di Jakarta.

Interview-ku hari itu menjadi sebuah anomali. Aku yang tidak sesuai dengan kriteria pegawai yang dicari justru diberikan siraman rohani, sampai aku menangis tersedu di depan pria yang mewawancaraiku. Aku ditolak, tapi aku justru merasa bahagia dan bangga.

Untuk pertama kalinya dalam hidupku. Ada orang mengatakan kagum pada kemampuan menulisku yang sudah memiliki 13 buku Kumpulan Cerpen (meski masih tergabung dengan penulis lainnya.) Dan menyelesaikan dua naskah novel utuh yang masing-masing butuh waktu tujuh bulan untuk diselesaikan (kalau kamu penasaran, bisa dibaca di wattpad-ku.)

Untuk pertama kalinya, aku bangga menekuni sebuah hobi yang tidak pernah mendapat lampu hijau secara lisan oleh kedua orang tua.

Untuk pertama kalinya, aku tahu bahwa aku salah memandang diriku dan teman-teman seangkatanku yang sudah bekerja.

Beliau, sang pewawancaraku hari itu berkata, “Jangan membandingkan diri kamu dengan teman-temanmu yang sudah bekerja sekarang! Beri kamu waktu. Setidaknya tiga tahun, atau lima tahun. Saya yakin lima tahun lagi, kamu bisa menjadi penulis seterkenal Dee Lestari, itu kalau kamu serius dengan bidang yang kamu sukai.”

Aku semakin terisak. Ada seseorang yang percaya padaku dan mengatakannya dengan wajah seserius itu.

“Kuliahmu sudah beres. Utangmu dengan orang tua sudah lunas. Sekarang saatnya kamu mengejar mimpi kamu sendiri. Kamu tahu Dee Lestari kan? Siapa yang sangka dulunya dia penyanyi? Tapi semua bukunya laku keras di pasaran. Kamu tahu Sheila On 7? Mereka lulusan UGM. Justru berkarya di bidang musik dan terkenal. Kamu harus bangga! Kamu punya sesuatu yang kamu sukai dan kamu sudah punya hasilnya walau belum seberapa bagi kamu. Tapi bagi saya, 13 cerpen itu luar biasa. Saya sendiri tidak bisa melakukannya.”

Ingusku berceceran. Bahkan orang tuaku tak pernah mengatakannya di depanku selama 22 tahun aku hidup. Tapi aku, justru dipuji oleh orang asing yang baru kutemui beberapa menit lalu.

“Keluar dari sini, saya mau kamu yakin kalau kamu bisa sukses dengan apa yang kamu suka. Jangan bandingkan diri kamu dengan orang lain sekarang. Jangan merasa kamu gagal hanya karena belum bekerja di mana pun secara resmi. Tapi suatu saat, ketika cita-cita kamu berhasil. Kamu justru bisa bekerja di mana pun kamu mau. Tanpa terikat dengan siapa pun.”

Aku bergeming. Kepalaku hanya bisa mengangguk-angguk mirip hiasan dasbor mobil.

“Kamu berjilbab, saya yakin pengetahuan kamu tentang Islam jauh lebih baik dari saya. Kamu harus selalu meminta pada Allah supaya jalan kamu diberkahi-Nya. Bukan dimudahkan, tapi diberi keberkahan. Kamu mungkin tidak direstui seratus persen sama orang tua, tapi kamu punya Allah. Itu lebih dari cukup. Kencangkan usaha, kencangkan doa. Saya tunggu lima tahun lagi. Kamu harus kirim satu buku kamu ke saya.”

Aku keluar dari ruang interview sebagai seorang yang gagal dengan semangat baru. Benar-benar sebuah anomali, bukan?

Bahkan saat aku mengingat percakapan kami hari itu, aku masih terenyuh. Allah. Aku melupakan Sang Maha Pencipta selama ini dan merasa bahwa aku bisa berjalan seorang diri. Aku terlalu yakin kalau rencanaku akan berjalan semulus jalan tol. Tapi Allah mengotak-atiknya, mengacaukannya, dan mempertemukanku dengan seseorang yang tak pernah aku duga sebelumnya.

Hari itu. Aku kenang sebagai hari penyadaran diri. Bahwa aku punya sesuatu yang seharusnya aku perjuangkan sejak lama. Dan aku punya DIA yang selalu bisa aku andalkan. Selalu bisa aku pinta. Tanpa perlu merasa takut dengan keadaan sekarang, yang membuatku seolah menjadi manusia tak berguna, karena menjadi seorang sarjana pengangguran.

Sekarang, aku punya rencana baru. Dan aku tahu ke mana aku harus melangkah. Tapi, aku masih berpasrah dengan rencana-Nya. Karena aku yakin, rencana Allah selalu jauh lebih indah daripada rencana yang aku buat.

Buktinya adalah pertemuanku hari itu. Siapa yang akan menduga kalau interview-ku justru berubah menjadi ajang penyemangat untukku? Bahkan, efeknya masih terus menggetarkan hati hingga detik ini. Saat aku menulis kisahku untuk kau baca di rumahmu.

Aku, mungkin masih belum seberuntung teman-temanku hari ini. Tapi aku percaya, Allah memberikan rezeki pada hamba-Nya sesuai takaran, tepat pada waktunya, dan dengan cara yang luar biasa tak terduga nan indah.

.
.
.

Kisah ini selesai. Semoga kamu bisa mengambil hikmahnya. Dan semoga aku bisa segera mewujudkan cita-citaku untuk bekerja sesuai dengan passion-ku. Aamiin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Everything Happens for A Reason

Tentang Lomba Adu Pencapaian... dan Privilege.

Yang pasti itu, mati