Siapa Aku?

“Keajaiban yang berulang, membuatku lupa diri dan
terjebak pada kebingungan: siapa diriku ini?”

Sewaktu aku lulus SD dan SMP, hidupku bagai di atas angin. Aku ingat dengan jelas betapa santainya kedua orang tuaku, ketimbang orang tua lainnya kala itu. Saat yang lain masih sibuk mencari SMP negeri di kota kami, namaku sudah tercatat sebagai murid baru, di kelas RSBI pula. RSBI itu akronim dari Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional. Sekarang sih, aku dengar SMP-ku sudah tidak menyandang gelar itu lagi. Entah karena apa.

Lalu saat lulus SMP, di saat yang lain kebanyakan masih kocar-kacir, kesana-kemari, mencoba menembus peruntungan untuk masuk sekolah negeri favorit. Aku sudah lulus seleksi/tes di sebuah SMK Negeri ternama. Lagi-lagi, sebuah jalan hidup yang memudahkan usaha kedua orang tua.

Terlena, mungkin.

Karenanya, aku tidak seratus persen menjalani masa sekolah kejuruanku. Mungkin juga karena munculnya kegalauan: siapa aku sebenarnya? Apa yang mau aku kerjakan di masa depan? Aku suka X, tapi justru mencoba jurusan Y. Sebenarnya apa mauku? Apa orang tuaku akan setuju?

Hingga akhirnya berujung pada sebuah kesimpulan, di tahun akhir sekolah. Sepertinya, aku salah jurusan. 

Kebimbanganku semakin membesar, laksana bola salju yang turun dari puncak gunung es. Ketika aku dihadapkan kenyataan waktu itu bahwa anak SMK tidak bisa mengikuti SNMPTN. Hanya bisa mengikuti SBMPTN saja. Jelas sebuah kerugian buatku yang sejak awal kurang persiapan. Karena peruntunganku untuk mencoba hanya satu kali, tidak dua kali.


Singkat cerita. Untuk pertama kalinya, aku gagal membuat orang tuaku hidup tenang. Cita-cita Bapak memiliki anak dengan jaket kuning dan tinggal di Depok (kalian pasti tahu betul PTN yang aku maksud) hangus sudah. Aku pun tak ingin mencoba peruntungan dengan gap year dan ikut SBMPTN tahun berikutnya.

Aku perempuan, dan di usiaku saat itu, aku sudah punya prinsip bahwa: menunda kuliah = menunda menikah. Buang-buang waktu jika aku hanya fokus pada satu PTN saja. Jangan tertawa. Aku sendiri heran bagaimana aku bisa memegang prinsip itu bahkan saat aku belum memasuki dua puluhan.

Bagiku, PTS juga sama baiknya dengan PTN. Jadi aku mencoba mencari jurusan yang paling sesuai dengan cita-citaku (waktu itu). Aku ingin menjadi seorang Event Organizer, atau Wedding Organizer. Apapun yang bisa membuat orang bahagia atas apa yang aku lakukan/kerjakan. Mungkin, salah satu penyebabnya adalah kegagalanku membahagiakan orang tua karena tidak lulus SBMPTN kemarin. Entahlah.

Lagi-lagi, aku tidak memiliki kepastian untuk satu itu. Miris sekali memang.

Satu tahun di PTS yang aku dan orang tuaku sepakati. Berjalan lancar. IPK-ku aman.
Dua tahun, masih terasa demikian. IPK-ku memang dibawah IPK anak jenius, tapi tidak buruk-buruk amat.
Tiga tahun, tidak banyak perubahan selain tekanan yang semakin mencekam. Setidaknya, aku tetap mempertahankan rata-rata IPK sebelumnya. Cita-cita untuk mengejar IPK anak jenius, pupus sudah.
Tahun akhir, aku mulai ketakutan. Skripsi di depan mata. Akhir cerita dari masa perguruan tinggi telah menampakkan diri. Tapi, ada satu pertanyaan besar memenuhi kepalaku: Setelah ini, aku ingin melakukan apa? Aku mau kerja apa? Sementara magang di EO saja tidak ada. Aku mulai kehilangan arah.

Aku sibuk dengan kegalauanku, sibuk dengan tugas kuliahku, sibuk dengan bahan skripsi yang mulai sering disinggung dosen-dosenku. Aku sibuk dengan urusan dunia dan ketakutan, yang datang bergantian ke kepalaku.

Tapi bodohnya, saat itu aku tidak pernah mengingat satu hal.
Bahwa kita takkan pernah kehilangan arah, selama kita tahu, di mana arah Kiblat berada.

Aku, waktu itu, masih terlalu buta ... bahwa ada DIA yang merindukanku akibat nyaman dengan yang fana. Dan mencoba mencari jalan keluar sendirian, tanpa melibatkan-Nya.

.
.
.
.

BERSAMBUNG.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Everything Happens for A Reason

Tentang Lomba Adu Pencapaian... dan Privilege.

Yang pasti itu, mati