Setiap orang, punya Jatahnya.
Pernah denger nggak?
Atau...
Dua statement itu yang baru-baru ini aku resapi maknanya secara serius.
Berbulan-bulan tanpa pekerjaan tetap membuat batin dan pikiranku menciptakan konfliknya tersendiri. Dibumbui dengan pertanyaan-pertanyaan sepele, yang terlontar waktu keluargaku berkumpul.
Atau, malah lebih sepele lagi. Melihat status instagram teman pamer aktivitas bahagianya―yang berkaitan dengan pekerjaan.
Ya, aku sempat terjangkit penyakit bernama Hasad. (Bahkan mungkin, masih terjangkit sampai sekarang meski tidak separah beberapa waktu lalu.)
Hasad ini bikin aku jarang buka HP, instagram dan seluruh social media jadi musuh abadi. Pokoknya nggak boleh lihat dunia luar, karena takut makin kronis Hasad yang aku derita. Dan justru jadi menyalahkan Tuhan karenanya.
Sampai akhirnya, aku dikirim orang tuaku untuk ikut program di sebuah English Course di Pare. Satu bulan hidup mandiri. Melihat segala sesuatunya dari sudut yang berbeda. Bertemu orang baru. Dan melakukan hal yang belum pernah aku lakuin sebelumnya, ngekos, pisah dari orang tua. Bebas dari segala pertanyaan: kapan kamu kerja?
Aku bertemu orang dengan problematika hidupnya.
Aku bertemu orang dengan rezekinya yang tidak terduga.
Dan...
Aku bisa menginjakkan kaki ke Gunung Bromo―yang bahkan nggak pernah satu kali pun ada di dalam rencana.
Saat menanti sunrise di Bromo. Aku berada di atas awan. Di dalam dekapan dingin yang Tuhan anugrahkan untuk daerah itu. Untuk sesaat, aku lupa betapa menyedihkannya menjadi seorang pengangguran. Untuk sesaat, aku begitu bahagia menjadi seorang pengangguran.
Dan dari sanalah obat dari penyakit Hasad-ku mendekat. Aku berkenalan dengan sosok yang begitu hebat. Sudahkah kamu merasakan, betapa baiknya Tuhan padaku karena memberikan obat tanpa aku minta sebelumnya..?
Sebut saja dia: Mbak. Sosok yang kukenal begitu singkat karena program yang kami ambil berbeda.
Dia anak periode dua minggu di tempat privat kami. Sementara aku satu bulan. Kedekatan kami berawal dari diterimanya dia bekerja di Hotel Ritz Carlton Jakarta. Sebuah anak perusahaan dari Marriott International.
(Have you heard about the JW Marriot hotel bombed in 2009?? Yeah, itu hotel yang aku maksud. Aku yakin kamu pasti tahu hotel itu.)
Aku yang sedang terkena Hasad stadium lanjut langsung sesak napas karenanya. Alasannya? Simple. Dia mengorbankan kelas 2 minggunya untuk interview di Jakarta dan diterima! Itu suatu kebahagiaan yang aku rindukan.
Aku dipenuhi cemburu seketika. Ya Allah, kenapa aku tidak mendapat kemudahan yang sama...? Itu yang terlintas di kepala ketika mendapati kabarnya di kelas kami.
Sampai akhirnya, aku berani mendekati Mbak lebih dulu. Karena ingin tahu bagaimana bisa seorang Mbak yang bertubuh mungil ini diterima di perusahaan top Jakarta. Yang menjadi impian banyak orang, termasuk aku.
Tidak langsung berhasil, karena aku baru tahu kisah hidupnya justru saat kami bertemu di luar tempat kursus, beberapa bulan setelah aku pulang dari libur Hari Raya Idul Fitri di Pacitan.
Di salah satu kedai es krim dekat Stasiun Juanda, Jakarta, dia berkisah.
Seberapa besar pengorbanannya. Seberapa lama penantiannya. Seberapa jauh kakinya melangkah demi pekerjaan yang dia damba. Bahkan, perjuangannya mencari tiket Pare Kediri ke Jakarta kala Mbak mendapat undangan interview di hotel impiannya itu.
Aku merinding. Aku tahan tangisku saat kami berjumpa karena aku malu. Aku iri pada seseorang yang memetik hasil usahanya, tanpa tahu betapa besar jerih payahnya di balik kesuksesan yang mengagumkan.
Percakapan kami, membuatku sadar. Bahwa semua yang aku alami hanya masalah waktu dan jatah yang sudah Tuhan tetapkan jauuuuuh jauh hari sebelum aku dilahirkan ke dunia.
Semua―kepedihan―yang aku rasa karena masa pengangguran ini adalah jatah yang memang aku harus tempuh, untuk mencapai apa yang aku cita-citakan.
Semua―waktu libur―yang aku miliki saat ini, pasti Tuhan berikan sepaket dengan hikmahnya. Yang masih aku terus gali hingga sekarang.
Dan aku yakin, Allah, tidak sedang mengujiku melebihi kemampuanku. Dan aku bersyukur, karena meski belum bekerja, Allah menganugrahkan sosok Ibu yang begitu mengerti kondisiku.
Aku sadar.
Rezeki bukan semata soal gaji.
Rezeki dan ujian itu, sudah dijatah sejak jauh hari.
Jadi pasti, kebahagiaanku akan datang sesuai janji yang Tuhan tulis untuk diriku ini.
Kalau seseorang itu takkan mati sebelum rezeki jatah dia habis.
Atau...
Setiap orang punya jatah ujian yang dikasih Tuhan, dan itu nggak akan pernah melebihi kapasitas kemampuan si hamba.
Dua statement itu yang baru-baru ini aku resapi maknanya secara serius.
Berbulan-bulan tanpa pekerjaan tetap membuat batin dan pikiranku menciptakan konfliknya tersendiri. Dibumbui dengan pertanyaan-pertanyaan sepele, yang terlontar waktu keluargaku berkumpul.
Atau, malah lebih sepele lagi. Melihat status instagram teman pamer aktivitas bahagianya―yang berkaitan dengan pekerjaan.
Ya, aku sempat terjangkit penyakit bernama Hasad. (Bahkan mungkin, masih terjangkit sampai sekarang meski tidak separah beberapa waktu lalu.)
Hasad ini bikin aku jarang buka HP, instagram dan seluruh social media jadi musuh abadi. Pokoknya nggak boleh lihat dunia luar, karena takut makin kronis Hasad yang aku derita. Dan justru jadi menyalahkan Tuhan karenanya.
Sampai akhirnya, aku dikirim orang tuaku untuk ikut program di sebuah English Course di Pare. Satu bulan hidup mandiri. Melihat segala sesuatunya dari sudut yang berbeda. Bertemu orang baru. Dan melakukan hal yang belum pernah aku lakuin sebelumnya, ngekos, pisah dari orang tua. Bebas dari segala pertanyaan: kapan kamu kerja?
Aku bertemu orang dengan problematika hidupnya.
Aku bertemu orang dengan rezekinya yang tidak terduga.
Dan...
Aku bisa menginjakkan kaki ke Gunung Bromo―yang bahkan nggak pernah satu kali pun ada di dalam rencana.
Saat menanti sunrise di Bromo. Aku berada di atas awan. Di dalam dekapan dingin yang Tuhan anugrahkan untuk daerah itu. Untuk sesaat, aku lupa betapa menyedihkannya menjadi seorang pengangguran. Untuk sesaat, aku begitu bahagia menjadi seorang pengangguran.
Dan dari sanalah obat dari penyakit Hasad-ku mendekat. Aku berkenalan dengan sosok yang begitu hebat. Sudahkah kamu merasakan, betapa baiknya Tuhan padaku karena memberikan obat tanpa aku minta sebelumnya..?
Sebut saja dia: Mbak. Sosok yang kukenal begitu singkat karena program yang kami ambil berbeda.
Dia anak periode dua minggu di tempat privat kami. Sementara aku satu bulan. Kedekatan kami berawal dari diterimanya dia bekerja di Hotel Ritz Carlton Jakarta. Sebuah anak perusahaan dari Marriott International.
(Have you heard about the JW Marriot hotel bombed in 2009?? Yeah, itu hotel yang aku maksud. Aku yakin kamu pasti tahu hotel itu.)
Aku yang sedang terkena Hasad stadium lanjut langsung sesak napas karenanya. Alasannya? Simple. Dia mengorbankan kelas 2 minggunya untuk interview di Jakarta dan diterima! Itu suatu kebahagiaan yang aku rindukan.
Aku dipenuhi cemburu seketika. Ya Allah, kenapa aku tidak mendapat kemudahan yang sama...? Itu yang terlintas di kepala ketika mendapati kabarnya di kelas kami.
Sampai akhirnya, aku berani mendekati Mbak lebih dulu. Karena ingin tahu bagaimana bisa seorang Mbak yang bertubuh mungil ini diterima di perusahaan top Jakarta. Yang menjadi impian banyak orang, termasuk aku.
Tidak langsung berhasil, karena aku baru tahu kisah hidupnya justru saat kami bertemu di luar tempat kursus, beberapa bulan setelah aku pulang dari libur Hari Raya Idul Fitri di Pacitan.
Di salah satu kedai es krim dekat Stasiun Juanda, Jakarta, dia berkisah.
Seberapa besar pengorbanannya. Seberapa lama penantiannya. Seberapa jauh kakinya melangkah demi pekerjaan yang dia damba. Bahkan, perjuangannya mencari tiket Pare Kediri ke Jakarta kala Mbak mendapat undangan interview di hotel impiannya itu.
Aku merinding. Aku tahan tangisku saat kami berjumpa karena aku malu. Aku iri pada seseorang yang memetik hasil usahanya, tanpa tahu betapa besar jerih payahnya di balik kesuksesan yang mengagumkan.
Percakapan kami, membuatku sadar. Bahwa semua yang aku alami hanya masalah waktu dan jatah yang sudah Tuhan tetapkan jauuuuuh jauh hari sebelum aku dilahirkan ke dunia.
Semua―kepedihan―yang aku rasa karena masa pengangguran ini adalah jatah yang memang aku harus tempuh, untuk mencapai apa yang aku cita-citakan.
Semua―waktu libur―yang aku miliki saat ini, pasti Tuhan berikan sepaket dengan hikmahnya. Yang masih aku terus gali hingga sekarang.
Dan aku yakin, Allah, tidak sedang mengujiku melebihi kemampuanku. Dan aku bersyukur, karena meski belum bekerja, Allah menganugrahkan sosok Ibu yang begitu mengerti kondisiku.
Aku sadar.
Rezeki bukan semata soal gaji.
Rezeki dan ujian itu, sudah dijatah sejak jauh hari.
Jadi pasti, kebahagiaanku akan datang sesuai janji yang Tuhan tulis untuk diriku ini.
Begitu juga kamu, apa pun masalahmu sekarang, bersabarlah, karena setiap orang punya jatahnya. Dan kamu punya Allah, yang Maha Mengatur segalanya.


Komentar
Posting Komentar